Pondok Pesantren Putri
PONDOK PESANTREN PUTRI
Oleh
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman
Pertanyaan.
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman ditanya : Bolehkah kita mengirim putri-putri kita ke pondok pesantren Islami yang jauh untuk menuntut ilmu syar’i dan tinggal di tempat tersebut tanpa mahram ?
Jawaban
Masalah ini perlu perincian. Apabila seorang wanita melakukan safar tanpa mahram maka hukumnya haram berdasarkan hadits Bukhari Muslim, bahwa beliau bersabda.
لاَ يَحِلُ لاِمْرَأَةِ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مِسِيْرَةَ يَوْمِ وَلَيْلَةِ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ
“Tidak halal bagi wanita ang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan safar perjalanan satu hari dan satu malam kecuali bersama mahramnya“.
Kata ‘imroati’ dalam hadits ini nakirah dan jatuh setelah ‘la nahiyah’ (larangan) yang berarti umum. Maksud hadts ini adalah setiap wanita siapapun orangnya, bagaimanapun keadaannya, kapanpun, dimanapun dan segala jenis safar baik safar ketaatan, rekreasi dan safar mubah. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama selain Syafi’iyah, mereka berpedoman dengan argumen yang amat rapuh untuk memperbolehkan wanita safar tanpa mahram bersama wanita sesamanya. Seandainya Nabi membawakan hadits diatas dihadapan kita semua dan kitapun mendengarnya dengan telinga kita kemudian kita ingin berkilah, apakah yang akan kita lakukan pada beliau ?! Kita tidak boleh berkilah. Kewajiban kita hanya mengatakan ‘Kami mengdengar dan taat’.
Adapun apabila seorang wanita tadi safar bersama mahramnya, tinggal di tempat yang aman, tidak melakukan safar kecuali bersama mahramnya, tidak campur baur dengan laki-laki, untuk menuntut ilmu syar’i dan menjauhi fitnah, maka hal itu diperbolehkan karena termasuk kewajiban wanita adalah menuntut ilmu. Para sahabat dahulu juga pergi ke rumah-rumah para istri Nabi untuk masalah-masalah penting dan mereka juga belajar kepada para sahabat wanita, bahkan imam Az-Zarkasyi menulis sebuah kitab yang tercetak berjudul ‘Al-Ijabah Lima Istadrakathu Sayyidah Aisyah ‘Ala Shahabah‘ (Beberapa kritikan Aisyah kepada sahabat). Demikian pula kitab Shahih Bukhari, di kalangan orang-orang belakangan, sanadnya bersumber dari Karimah Al-Marwaziyyah, dimana para ulama abad kedelapan, kesembilan dan kesepuluh mengambil sanad Shahih Bukhari dari Karimah. Nabi bersabda.
إِنَّمَا النِّسَاءُ سَقَائِقُ الرِّ جَال
“Sesungguhnya wanita itu saudara lelaki”
Dan Nabi juga bersabda.
طَلَبُ الْعِلمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”
Hadits ini meliputi muslimah juga, sekalipun tambahan lafadz ‘muslimah’ dalam hadits diatas tidak ada dari Nabi.[1]
Ada kisah menarik juga yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini : Ada seorang wanita pada abad kesebelas bernama Wiqayah, seorang wanita pintar dari Maghrib. Para ulama Maghrib apabila mengalami kesulitan, mereka mengatakan : ‘Marilah kita pergi ke Wiqayah karena sorbannya lebih baik daripada sorban-sorban kita’. Akhirnya, merekapun belajar dan meminta fatwa padanya.
Dan termasuk keajaiban sejarah tidak ada seorang perawi wanita satupun yang berdusta pada Rasulullah. Seluruh ulama yang menulis tentang para perawi pendusta tidak ada yang menyebutkan seorangpun dari wanita pendusta. Adapun kaum laki-laki, maka betapa banyak kitab-kitab yang berisi tentang para pendusta dari kalangan mereka. –La Haula wa La Quwwata illa billahi-.
Maka seorang wanita apabila anda membimbingnya kejalan yang baik, mereka akan menjadi baik dan pahalanya bagi kedua orang tuanya sampai hari kiamat. Namun bagi orang tua hendaknya tetap menjaga hukum syar’i. Dan tempat yang paling baik untuk menimba ilmu bagi wanita adalah seorang suami yang shalih, penuntut ilmu dan bertaqwa kepada Allah. Oleh karena itu, bagi orang tua hendaknya berupaya memilihkan suami terbaik bagi anaknya.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu pernah bercerita padaku tatkala beliau ingin menikahkan putrinya dengan salah satu saudara kami di Yordania. Katanya : Ketika saya di masjid, maka saya duduk di bagian belakang untuk melihat shalatnya para pemuda sehingga saya memusatkan perhatian kepada seorang pemuda yang paling baik shalatnya, paling khusyu’ dan lama berdirinya. Kemudian saya mencari lagi pada shalat shubuh dan Isya’ sehingga saya menemukan seorang pemuda yang rajin dan tidak malas. Lalu saya mendatangi pemuda tersebut dan bertanya padanya : “Apakah anda sudah menikah ?” Jawabanya : “Belum”. Saya bertanya lagi : “Maukah engkau saya nikahkan dengan putriku ?” Jawabnya : “Subhanallah, siapa yang tidak mau ?!” Akhirnya saya menikahkannya dengan putriku. Demikianlah selayaknya yang dilakukan oleh para orang tua.
Oleh karenanya, saya sarankan kepada bapak penanya yang ingin memondokkan putrinya, hendaknya tidak tergesa-gesa. Masih ada pondok yang jauh lebih baik bagi putrinya daripada pesantren yaitu seorang suami yang shalih. Hendaknya dia berupaya mencari dan menawarkan putrinya. Hal ini bukanlah suatu aib, bahkan manhaj para sahabat. Kalian semua mungkin sudah tahu kisah Umar bin Khattab yang menawarkan putrinya Hafshah kepada Abu Bakar lalu beliau diam dan kepada Utsman lalu beliaupun diam. Beliau berdua diam karena pernah mengatahui bahwa Rasulullah menginginkan Hafshah[2]. Padahal umur Umar bin Khattab saat itu sebanding dengan Nabi atau lebih kurang satu atau dua tahun dari beliau.
Saya tidak menuntut supaya kita menawarkan putri-putri kita kepada sahabat dan handai taulan kita, karena barangkali hal itu diluar kemampuan kita, tetapi kita berupaya mencari pemuda dengan mempermudah mahar dan kita minta padanya supaya membimbing dan mengajari putri kita tentang Al-Qur’an, fiqih dan sebagainya. Dikisahkan bahwa imam Malik mempunyai seorang putri, tatkala suaminya hendak berangkat ke majlis imam Malik, istrinya mengatakan : “Hendak kemanakah engkau ?” Jawab suaminya : “Hendak ke majlis ayahmu“. Istrinya berlata : “Duduklah, karena ilmu ayahku ada di hatiku“.
Semoga Allah merahmati para wanita salaf. Inilah yang saya anjurkan kepada penanya.
[Disarikan dari soal jawab bersama Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman pada acara daurah di Lawang Jatim tanggal 24-28 Rabiuts Tsani 1424H/2003M, dan dimuat di majalah Al-Furqan Edisi 12/th 11]
_______
Footnote
[1] Lihat Al-Maqashidul Hasanah hal.227 oleh Imam As-Sakhawi dan Takhrij Musykilaatil Faqr hal. 48-62 oleh Al-Albani
[2] Hadits Riwayat Bukhari 5127
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1435-pondok-pesantren-putri.html